Wudu Dan Salat Batin


.

TDirwayatkan, bahwa pada suatu hari Isham bin Yusuf menghadiri majlis pengajian Syaikh Hatim Al-Asham. begitu selesai memberikan pengajian tentang ilmu-ilmu agama Islam dan beberapa masalah agama kepada orang banyak, sebentar kemudian tiba waktu untuk menunaikan salat Zuhur. Semua yang hadir disitu segera bersiap-siap untuk menunaikan ibadah salat. Mereka segera mengambil air wudu, akan tetapi Syaikh Hatim terlihat hanya berdiam diri, dia kelihatan berdiri tegak tanpa berkata-kata.
     "Wahai Syaikh, mengapakah engkau tidak segera menyelesaikan wudu." Kata Isham bin Yusuf yang masih tidak mengerti gerangan apakah yang sedang dilakukan oleh Syaikh Hatim dengan berdiri tegak tanpa berkata-kata itu.
     "Sesungguhnya aku sedang melakukan wudu batin terlebih dahulu."
     "Apa wudu batin itu ?"
     "Apabila aku berwudu, sesungguhnya yang aku lakukan adalah wudu lahir dan juga wudu batin. Aku memulainya dengan wudu batin terlebih dahulu. Adapun wudu lahir itu adalah membasuh seluruh anggota yang harus dibasuh ketika berwudu, yaitu dua telapak tangan, mulut, hidung, wajah, dua lengan, kepala, dan dua kaki. Adapun wudu batin itu ialah membasuh jiwa bagian dalam dengan tujuh alat pembasuh, yaitu taubat, menyesal, meninggalkan kesenangan duniawi, tidak mengharapkan pujian orang lain, tidak berharap jadi pemimpin, tidak berkhianat, dan tidak mempunyai sifat hasud." Syaikh Hatim menjawab.
     Mendengar jawaban itu, Isham merasa tercenung dan merenungi kata-kata itu.
     "Wahai Syaikh, jika wudumu saja seperti itu, bagaimanakah halnya dengan salatmu?"
     "Jika aku telah berdiri tegak hendak melakukan salat, aku melemaskan seluruh anggota badanku, sehingga aku dapat menyaksikan ka'bah dengan mata hatiku. Aku berdiri antara harapanku dan rasa takutku kepada Allah. Aku tujukan hatiku bahwa Allah SWT sedang mengawasiku. Aku merasakan syurga ada di kananku dan neraka ada di kiriku, sementara malaikat maut berada dibelakang punggungku. Begitulah keadaanku, bahkan seakan-akan aku telah menapakan kakiku di atas shirat dan aku berfikir bahwa salatku ini adalah salatku yang terakhir kalinya. Setelah hatiku mantap, barulah aku berniat, lalu mengucapkan takbiratul ihram dengan sekhusyuk-khusyuknya. Dalam setiap kali salat aku membaca ayat-ayat Al-Qur'an seraya merenungkan isinya, lau ruku'  dengan penuh kerendahan serta sujud dengan penuh kehambaan. Dalam tasyahud aku tumpahkan seluruh harapanku, dan aku akhiri salamku dengan penuh keikhlasan."
     "Sejak kapankah engkau melakukan salat dengan cara demikian?" tanya Isham.
     "Wudu dan Salatku yang demikian itu aku lakukan sejak aku menyadari bahwa aku hanyalah seorang hamba yang diciptakan oleh Allah Zat Yang Maha Pencipta. Jika aku sekarang masih dalam keadaan hidup, tetaplah pada akhirnya aku akan mati, lalu aku akan dihitung amalku, kemudian aku akan disiksa ataukah aku akan diberi balasan kebaikan? Akan tetapi, jika yang engkau tanyakan sudah berapa lamakah aku berbuat demikian, maka aku baru melakukannya tiga puluh tahun yang lalu." Jawab Syaikh Hatim.
     Mendengar jawaban Syaikh Hatim demikian, Isham bin Yusuf menangis, mengeluarkan air matanya. Dan sejak saat itu, Isham bin Yusuf mencoba mencontoh dalam hal berwudu dan bersalat sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh Hatim tersebut.